1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Aktivitas mikroba
tertinggi terdapat di dalam lapisan tanah yang kaya nutrisi dan di rhizosfer
(Madigan et al. 2015). Rhizosfer
merupakan zona tanah disekitar sistem perakarana tanaman. Rhizobakteria
merupakan kelompok bakteri yang berkolonisasi di rhizosfer baik didalam
(endofit) maupun diluar sistem perakaran tanaman. Komponen kimia yang
disekresikan oleh akar tanaman bertindak sebagai atraktan bagi mikroba tanah.
Komponen kimia yang disekresikan oleh akar kedalam tanah (rhizosfer) disebut
eksudat akar. Komponen eksudat akar antara lain asam amino, asam organik, gula,
vitamin, nukleosida, enzim, dan ion inorganik (Dakora & Phillips 2002). Bakteri
yang mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman melalui interaksinya dengan akar
tanaman dikelompokkan dalam bakteri plant
growth promoting rhizobacteria (PGPR).
PGPR terlibat
dalam pertumbuhan dan pekembangan tanaman secara langsung maupun tidak
langsung. Interaksi PGPR secara langsung yaitu berkaitan dengan fiksasi
nitrogen (dilakukan oleh PGPR simbion maupun nonsimbion), pelarutan fosfat, dan
produksi zat pemicu pertumbuhan, sedangkan interaksi PGPR secara tidak langsung
yaitu sebagai agen biokontrol dan agen toleran terhadap stres lingkungan
(Arshad 2007; lugtenberg & kamilova 2009; Glick 2012).
Pada praktikum
ini dilakukan uji kemampuan bakteri dalam menghasilkan IAA (Indole Acetic Acid) sebagai zat pemicu
pertumbuhan tanaman. Penelitian mengenai bakteri penghasil IAA sudah banyak
dilakukan. Rhizobacteria yang mampu menghasilkan IAA diantaranya adalah Azotobacter sp, dan Rhizobium sp., Lysinibacillus fusiformis, Bacillus
subtilis, Brevibacterium halotolerans, Bacillus licheniormis, Bacillus pumilus,
Achromobacter xylosoxidant, Pseudomonas putida, Bacillus amyloliquefaciens (Joseph
et al. 2007; Sgroy et al. 2009). Rhizobacteria tersebut merupakan
kelompok bakteri yang mampu bersimbiosis mutualisme dengan tanaman secara
mutualisme, netralisme, dan dapat menjadi parasitisme pada kondisi tertentu.
IAA disintesis
pada daerah meristematik dan pada organ yang aktif melakukan pertumbuhan
diantaranya koleoptil, ujung akar, perkecambahan biji, dan tunas apikal pada
batang. Aktivitas IAA dapat dihambat oleh cahaya. Prekursor pembentukan IAA
adalah triptofan (Srivastava 2002). Terdapat 3 tahap pembentukan triptofan
yaitu penghilangan gugus amin pada triptofan oleh enzim tryptophan
aminotransferase membentuk indole-3–pyruvic acid (IPA), dekarboksilasi IPA
membentuk indole-3 acetaldehyde (IAAId) oleh enzim indole-3 pyruvate
decarboxylase, dan selanjutnya IAAId dioksidasi menjadi IAA oleh enzim indole-3
acetaldehyde oxidase. Selain itu, pembentukan IAA juga dapat melalui senyawa
intermediet lain selain IPA yaitu tryptamine, indole-3 acetamide, dan indole-3
acetaldoxime (Idris et al. 2007).
Identifikasi
auksin dapat dilakukan dengan cara ekstraksi dari supernatan hasil kultur
bakteri dalam medium cair kemudian dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Gas Chromatography Mass Spectrometry
(GCMS). Metode lain adalah dengan menggunakan metode kolorimetri yaitu dengan reagen
Salkowski untuk deteksi indole. Metode tersebut telah digunakan selama
bertahun-tahun karena sederhana, cepat, dan murah. Hasil penelitian Glickmann &
Dessaux (1995) menyatakan bahwa reagen Salkowski tidak hanya sensitif terhadap
auksin, namun juga terhadap indole pyruvicacid, dan indole acetamide. Prinsip
kerja reagen Salkowski adalah oksidasi indole oleh besi pada kondisi sangat
asam (Mayer 1958). Reaksi positif dari reagen Salkowski untuk deteksi IAA
adalah menunjukkan perubahan warna menjadi merah sampai merah muda.
Tujuan
Praktikum
ini bertujuan untuk mengukur kadar IAA pada supernatan hasil kultur cair
bakteri BS3 dan BS6 dengan menggunakan metode kolorimetri Salkowski dan
Spektrofotometri.
2.
BAHAN
DAN METODE
Bahan
Sampel bakteri BS3 dan
BS6, reagen salkowski dengan komposisi 1.351 g FeCl3. 6H2O
0.5M, H2SO4 pekat 150 mL, dan akuades 250 mL, larutan IAA,
metanol, dan akuades.
Alat
Alat yang digunakan
dalam praktikum ini adalah tabung reaksi, rak tabung, gelas ukur, mikropipet,
kuvet, vorteks, neraca analitik, sentrifuge, lemari asam, pipet volumetrik, dan
spektrofotometri.
Prosedur
Praktikum
Praktikum
ini dibagi menjadi 3 tahap yaitu pembuatan reagen Salkowski, pembuatan kurva
standar, dan pengukuran kadar IAA.
Pembuatan
Reagen Salkowski
Reagen
Salkowski dibuat dengan cara FeCl3.6H2O 0,5M ditimbang
sebanyak 1,351 gram kemudian dilarutkan 100 mL lalu H2SO4
pekat sebanyak 150 mL dialirkan secara perlahan kedalam 100 mL FeCl3.
6H2O. Selanjutnya ditambahkan akuades hingga volume akhir mencapai 250
mL. Pembuatan reagen Salkowski dilakukan didalam lemari asam.
Pembuatan
Kurva Standar
Pembuatan
kurva standar dilakukan dengan menggunakan standar IAA. IAA dibuat dengan cara
sebanyak 3 mg IAA ditimbang kemudian dilarutkan dalam 30 mL metanol. Selanjutnya
dibuat beberapa konsentrasi IAA yaitu dengan perbandingan akuades dan IAA yang
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Konsentrasi IAA
Konsentrasi IAA (ppm)
|
IAA (mg/mL)
|
Akuades (mL)
|
0
|
0
|
1
|
10
|
0.1
|
0.9
|
20
|
0.2
|
0.8
|
30
|
0.3
|
0.7
|
40
|
0.4
|
0.6
|
50
|
0.5
|
0.5
|
60
|
0.6
|
0.4
|
70
|
0.7
|
0.3
|
80
|
0.8
|
0.2
|
90
|
0.9
|
0.1
|
100
|
1
|
0
|
Pengukuran
Kadar IAA
Isolat
murni bakteri diinokulasikan ke dalam medium Nutrient Broth yang ditambah
dengan 1mM L-Triptofan kemudian diinkubasikan selama 24 jam. Setelah itu
dilakukan pemisahan biomasa bakteri (filtrat) dengan cairan (supernatan)
menggunakan sentrifuge 11.000 g. Supernatan tersebut selanjutnya digunakan
untuk pengujian kadar IAA.
Sebanyak 1 mL supernatan dimasukkan
kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan dengan 4 ml reagen Salkowski lalu
dihomogenkan menggunakan vorteks. Selanjutnya sediaan diinkubasi dalam ruang
gelap selama 15 menit, setelah itu kadar IAA pada sediaan tersebut diukur
menggunakan spektrofotometri pada panjang gelombang 520 nm.
3.
HASIL
Hasil
dari praktikum ini adalah nilai-nilai absorbansi tiap konsentrasi larutan
standar IAA dan nilai absorbansi dari sampel berdasarkan pembacaan
spektrofotometri. Nilai absorbansi dari tiap konsentrasi larutan standar IAA
selanjutnya digunakan untuk membuat kurva standar agar diperoleh persamaan
regeresi linier dan nilai R2. Kurva standar yang dibuat dari protein
standar BSA dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar
1. Kurva standar IAA
Persamaan
regresi yang didapatkan dari kurva standar BSA yaitu Y = 0.0101X + 0.0465.
Persamaan tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menentukan kadar IAA pada
sampel (x) yaitu dengan cara subtitusi nilai absorbansi dari masing-masing
sampel setelah dikurangi dengan nilai absorbansi media sebesar 0.09 ke dalam
persamaan regresi sebagai Y. Nilai absorbansi BS3 setelah dikurangi dengan
nilai absorbansi media adalah 0.054, sedangkan nilai absorbansi BS6 setelah
dikurangi nilai absorbansi media adalah 0.053. Tabel 2 menunjukkan nilai
absorbansi dan kadar IAA pada sampel BS3 dan BS6.
Tabel
2. Hasil Spektrofotometri dan Kadar IAA pada sampel
Protein sampel
|
Nilai absorbansi
520 nm
|
Kadar IAA (M)
|
BS3
|
0.144
|
4.24 x 10-6
|
BS6
|
0.143
|
3.67 x 10-6
|
Penghitungan kadar IAA pada sampel BS3
dan BS6 sebagai berikut.
Kadar IAA BS3
Y = 0.0101X + 0.0465
0.054 = 0.0101X + 0.0465
X = 0.742 ppm = 0.000742 mg mL-1 atau (7.44 x 10-4
mg mL-1)
molalitas =
molalitas =
=
4.24 x 10-6 mol
Molaritas =
=
=
4.24 x 10-6 M
Kadar IAA BS6
Y = 0.0101X + 0.0465
0.053 = 0.0101X + 0.0465
X = 0.643 ppm = 0.000643 mg mL-1 (6.43 x 10-4
mg mL-1)
molalitas =
molalitas =
=
3.67 x 10-6 mol
Molaritas =
=
=
3.67 x 10-6 M
4.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil
praktikum dapat diketahui bahwa nilai R2 pada kurva standar IAA
sebesar 0.93. Nilai tersebut masih kurang akurat untuk menunjukkan hubungan
antar nilai absorbansi dengan kadar IAA. Hal tersebut disebabkan oleh cara
memipet yang kurang tepat sehingga mempengaruhi ketepatan dalam membuat
konsentrasi standar IAA. Selain itu juga dipengaruhi oleh konsentrasi standar
IAA dan kalibrasi alat spektrofotometri. Pembuatan kurva standar juga
menghasilkan persamaan regresi linier yaitu Y= 0.0101X + 0.0465 yang dapat
digunakan untuk menghitung kadar IAA pada sampel. Hasil penghitungan
menunjukkan bahwa kadar IAA dalam sampel BS3 sebesar 4.24 x 10-6 M
sedangkan kadar IAA dalam sampel BS6 sebesar 3.67 x 10-6 M .
Kadar IAA yang terdapat dalam sampel BS3 dan BS6 dapat digunakan untuk memicu
pembentukan akar lateral pada tanaman. Hal tersebut didasarkan pada hasil penelitian
Meuwley dan Pillet (1991) yang menyatakan bahwa konsentrasi IAA yang tinggi
yaitu kurang dari 10-9 M dapat memicu pembentukan akar lateral dan
akar adventif, konsentrasi IAA anatara 10-9 sampai 10-12 M
memicu pembentukan akar primer pada jagung. Fungsi akar lateral adalah
memperluas area penyerapan nutrisi dilingkungan, sedangkan fungsi akar primer
adalah untuk memperkuat pertumbuhan tanaman pada tanah.
Sampel yang digunakan
dalam praktikum ini merupakan supernatan hasil dari kultur cair bakteri BS3 dan
BS6. Pada medium pertumbuhan bakteri BS3 dan BS6 ditambahkan triptofan sebanyak
1 mM. Triptofan berfungsi sebagai prekursor dalam pembentukan IAA. Gambar 2
menunjukkan jalur biosintesis IAA dari prekursor triptofan.
Gambar 2. Jalur Biosintesis IAA.
Sumber: Idris et al. 2007
Triptofan
dapat membentuk IAA melalui 4 jalur dengan senyawa intermedietnya adalah indole
3 acetaldoxime, indole-3 acetamide, indole 3- pyruvic acid, dan tryptamine.
Enzim yang berperan dalam biosintesis IAA antara lain tryptophan transaminase (AAT), indole-3-pyruvate decarboxylase
(IPyAD), indole-3-acetaldehyde dehydrogenase (AIDH) tryptophan decarboxylase (TrD), amine oxidase
(AmO), tryptophan 2-monoxygenase (TMO), indole-3-acetamide hydrolase (IAMH). Selain
itu, indole secara langsung dapat membentuk indole 3-acetic acid menggunakan
enzim IAA transacetylase (IAAT), namun
hal tersebut masih belum diketahui secara pasti (Gambar 2).
5. SIMPULAN
Simpulan dalam
praktikum ini adalah kadar IAA dalam sampel BS3 sebesar 4.24 x 10-6
M, sedangkan kadar IAA dalam sampel BS6 sebesar 3.67 x 10-6 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar